Jakarta, IGONTV.com – Presiden Prabowo Subianto resmi memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan, Thomas Lembong. Keputusan ini mengejutkan banyak pihak dan memicu diskusi di kalangan akademisi serta publik terkait makna, legalitas, dan dampak politiknya.
Hasto Diberi Amnesti Saat KPK Akan Banding
Hasto Kristiyanto, mantan Sekjen PDIP, sebelumnya divonis 3,5 tahun penjara dalam kasus suap terkait pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR untuk Harun Masiku. Ia dinyatakan terbukti menyuap eks komisioner KPU Wahyu Setiawan bersama Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri, dan Harun Masiku—yang hingga kini masih buron.
Vonis terhadap Hasto lebih ringan dari tuntutan jaksa, yakni 7 tahun. KPK sempat menyatakan akan mengajukan banding, namun rencana tersebut tidak sempat direalisasikan karena Presiden Prabowo mengeluarkan keputusan amnesti, menghentikan seluruh proses hukum terhadap Hasto.
Tom Lembong Terbebas Lewat Abolisi
Sementara itu, Thomas Lembong divonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan dalam kasus dugaan korupsi impor gula. Ia dinyatakan bersalah karena kebijakannya menyebabkan kerugian negara sebesar Rp578 miliar, namun hakim tidak membebankan uang pengganti karena Tom tidak terbukti menerima keuntungan pribadi.
Prabowo kemudian mengeluarkan keputusan abolisi, yang menghentikan pelaksanaan pidana terhadap Tom. Meski sempat mengajukan pembelaan bahwa penetapan tersangka atas dirinya bersifat tebang pilih, keputusan abolisi Presiden membuat kasus tersebut selesai secara hukum.

Pandangan Akademik: Hak Konstitusional, Bukan Intervensi
Dalam perspektif hukum tata negara, amnesti dan abolisi merupakan hak prerogatif Presiden yang diatur dalam Pasal 14 UUD 1945. Keduanya termasuk dalam kategori clemency atau pengampunan negara yang memiliki dimensi hukum sekaligus moral dan politik.
Menurut Radian Syam, pakar hukum tata negara dan dosen di STIH IBLAM:
“Presiden Prabowo hendak ingin menegaskan bahwa pemerintahannya terbuka untuk rekonsiliasi, namun tetap dalam koridor konstitusi.” Radian Syam, STIH IBLAM.
Radian menilai keputusan tersebut sah secara hukum dan justru menunjukkan karakter kenegarawanan. Ia menambahkan bahwa langkah ini merupakan bagian dari konsolidasi nasional dalam masa transisi pemerintahan.
Pelajaran bagi Mahasiswa dan Demokrasi
Peristiwa ini membuka ruang refleksi hukum dan politik di kalangan mahasiswa serta masyarakat luas. Beberapa poin penting yang dapat dipelajari antara lain:
• Bahwa pengampunan negara bisa dibenarkan secara moral dan hukum dalam kondisi tertentu.
• Hukum tidak hanya bersifat menghukum (retributif), tetapi juga bisa bersifat memulihkan (restoratif).
• Mekanisme pengampunan harus tetap berada dalam koridor konstitusi dan diawasi oleh publik dan lembaga negara lain.
Laboratorium Demokrasi
Langkah ini juga menjadi ujian bagi kualitas demokrasi di Indonesia. Apakah lembaga seperti DPR, Mahkamah Agung, serta media dan masyarakat sipil bisa menjalankan fungsi kontrol dan menjadi penyeimbang kekuasaan?

Radian Syam menyebutkan bahwa pemaafan politik seperti ini harus tetap dapat dipertanggungjawabkan secara etis dan terbuka:
“Ini bukan sekadar hak prerogatif, tapi juga harus menjadi instrumen untuk meredam ketegangan politik dan menjaga kepercayaan publik terhadap sistem hukum,” ujarnya.
Kesimpulan: Bersikap Kritis, Bukan Reaktif
Dalam menyikapi kebijakan amnesti dan abolisi ini, publik diharapkan tetap kritis namun tidak reaktif. Langkah ini sah secara hukum, namun tetap membutuhkan pengawasan agar tidak menjadi preseden yang disalahgunakan.
Sebagai bagian dari masyarakat demokratis, penting untuk menjaga keseimbangan antara penghormatan terhadap konstitusi dan kepekaan terhadap keadilan publik.
Penulis: Redaksi IGONTV